A.
Pengantar
Penyatuan kalender Hijriyah merupakan
isu reguler yang biasanya dibahas pada waktu menjelang datangnya bulan
Ramadlon, syawal, dan Dzul Hijjah. Pada awal tiga bulan inilah umat butuh kapan
datangnya tanggal satu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Kebutuhan akan kepastian tanggal bulan
Hijriyah inilah, menandakan bahwa sesungguhnya kalender hijriyah menjadi
kebutuhan azazi bagi umat Islam. Umat sering dihadapkan dengan beragamnya
pendapat para tokoh Islam yang sering beragam, bahkan terkadang saling
menyalahkan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Keragaman ini menjadi
rahmat manakala disikapi saling memahami substansi perbedannnya, sebaliknya
menjadi laknat bila menjadikan saling menyalahkan.
Substansi perbedaannya adalah
perselisihan madzhab hisab dan madzhab rukyat dalam menentukan awal bulan
hijriyah. Perselisihan ini menjadi
persolan klasik yang selalu berkelit berkelindan dalam pusaran konflik umat.
Berbagai upaya telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun mediasi yang
dilakukan oleh negara khususnya Badan Hisab Rukyat di bawah naungan Kementerian
Agama RI. Namun demikian setiap tahun BHR bersidang dan setiap tahun itu pula
pertentangan semakin berkembang.
Perkembangan penetapan tahun hijriyah
ini tidak saja menjadi persoalan fiqh dan astronomi yang mempunyai kaidah-kaidah
religiusitas dan scientifik, tetapi juga menjadi konflik politik di tengah
masyarakat Indonesia. Awal bulan hijriyah yang seharusnya dirayakan dengan
ceria, terkadang justru kita umat Islam mengawali dengan saling ejek, baik yang
bermadhab hisab maupun rukyah. Tahun baru Hijriyah seharusnya menjadi tonggak
kekuatan dan kemajuan umat Islam dalam menyongsong kehidupan yang penuh damai
dan sejahtera. Mungkinkah tahun baru Hijriyah menjadi tetenger waktu bagi umat
dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Tahun
Hijriyah
Dalam sejarah Islam, tahun baru
hijriyah adalah tahun yang dimulai sejak hijrahnya nabi Muhammad SAW.
Penggunaan peristiwa hijrah Nabi ini tentunya mempunyai arti penting bagi
perjalanan Islam dalam sejarah klasik. Hijrah terkendung maksud bersatunya umat
dalam sebuah komunitas politik yang mempunyai visi sama yakni tegaknya Islam di
Madinah.
Perkembangan Islam setelah hijrah dari
Makkah ke Madinah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Salah satu yang
menjadi indikator adalah terbitnya piagam madinah yang oleh para sejarawan
muslim dianggap sebagai tomnggak berdirinya negara Islam Madinah yang progresif
dan transformatif. Progresif karena di tengah perkembangan umat Islam yang
meriah, piagam madinah memberikan ruang bagi ppara pengikut non-Islam tetap
tumbuh dan berkembang secara teologis, meski secara politis harus tunduk pada
nilai-nilai negara Islam Madinah.
Negara Madinah tidak serta merta
mengusir para kelompok non-Islam keluar dari kekuasaannya. Bahkan di antara
mereka yang non-Islam juga mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga negara
yang beragama Islam. Padangan ini yang kemudian dinamakan transfoirmatif karena
transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang tidak hanya berdasarkan dpada teks
ajaran, tetapi ada interpretasi yang mendalam dalam mengaktualisasikan
substansi ajaran Islam.
Semangat inilah yang kemudian oleh para sahabat
terutama Umar bin Khattab dijadikan momentum tonggak awal tahun hijriyah.
Semangat hijrah dijadikan sebagai awal tahun yang membedakan dengan tahun
masehi yang menghitung awal kelahiran Isa al-masih sebagai awal perhitungan
tahun Masehi.
Pada masanya, tahun hijriyah tidak saja
diberlakukan dalam pelaksanaan ibadajh, namun tahun Hijriyah juga menajadi
kalender umum (civil calender) yang dipergunakan dalam menentukan berbagai
persoalan kehidupan umat. Hampir semua perikehidupan masyarakat kala itu,
khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem penanggalan.
Penggunaan tahun baru sebagai tahun
sipil bahkan telah dikenal ke berbagai belahan dunia sesuai dengan persebaran
umat Islam di se antero bumi ini. Di Jawa yang dikenal dengan berbagai kerajaan
Jawa salah satunya kerajaan Mataram, tahun jawa menjadi salah satu tahun yang
berlaku di tengah masyarakat Mataranm pada waktu itu. Bahkan sang raja, Sultan
Agung menetapkan tahun hijriuyah menggantikan tahun Jawa Saka dengan hitungan
tahun hijriyah.
C.
Tahun
Hijriyah Sebagai Madzhab Negara Masa Sultan Agung
Sultan Agung, raja Mataram Islam yang hidup pada tahun
1613-1645, merupakan Raja Mataram Islam yang
memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok
negarawan sejati. Kepercayaan Hindu yang sudah mendarah daging dalam kerajaan
Jawa, tidak menutup hati sultan agaung untuk menapresiasi Islam yang datang
belakangan. Islam di tanah Jawa belakangan, pelan tapi pasti menggeser agama
dan kebudayaan Hindu. Salah satu apresiasi yang paling monumental adalah
penyesuaian kalender Jawa Saka yang semula mereduksi sistem penanggalan
syamsyiyyah direvii dengan menggunakan perhitungan hijriyah yang menggunakan
sistem qomariyah.
Dalam sistem penanggalan Jawa atau yang biasa disebut
tahun Saka, mempunyai sistem perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu,
Pasaran, Selapan dan Wuku. Setelah Islam masuk maka banyak istilah yang diubah
menjadi istilah Islam.
Meski Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram
menggunakan sistem kalender komariah (lunar) yaitu perhitungan penanggalan
berdasarkan peredaran bulan, namun tidak langsung menggunakan angka tahun
Hijriyah (1035 H). Angka tahun Saka tetap diteruskan demi menghargai eksistensi
tahun Saka. Ketika Sultan Agung mengambil kebijakan konversi tahun Saka ke
tahun Jawa Islam, tahun saka menunjukkan angka tahun 1547 Saka, untuk
mengakomodasi eksistensi tahun Saka maka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa
Islam.
Dalam catatan Izzudin, satu Windu = 8 tahun, sedangkan
nama-nama tahun pada satu Windu adalah tahun pertama disebut Wawu, kedua
(Jimakir), ketiga (Alip), keempat (Ehe), kelima (Jimawal), keenam (Je), ketujuh
(Dal) dan kedelapan (Be).
Untuk hitungan pasaran, satu siklus pasaran ada 5
hari. Lima hari pasaran itu adalah 1 (legi), 2 (pahing), 3 (pon), 4 (wage), 5
(kliwon). Dari beberapa hitungan pasaran akan terakumulasi dalam hitungan
Salapanan. Untuk satu selapanan adalah 7 siklus pasaran tersebut yaitu dari 7 X
5 = 35 hari. Misalnya tanggal 1 Januari 2013 untuk hari pasarannya adalah Selasa
kliwon, selapannya adalah 35 hari lagi yaitu 5 Februari 2013 yang hari
pasarannya adalah sama yaitu Selasa kliwon. Berbeda dengan wuku, tidak
menghitung hari tetapi hitungan minggu. Jadi satu wuku = 30 minggu.
Kalender Jawa Islam atau kalender Sultan Agung,
nama-nama bulan diintrodusir dari nama-nama bulan Hijriyah, meski ada sedikit
perubahan disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa pada saat itu. Nama-nama
bulan tersebut adalah : Sura (Muharrom), Sapar (Shofar), Mulud (Robiul awal),
Bakda Mulud (Robiul tsani), Jumadilawal (jumadil awal), Jumadilakhir (jumadil
akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (sya’ban), Pasa (ramadlon), Sawal (syawwal),
Dulkangidah (dzul qaidah), Besar (dzul qaidah besar).
Penamaan ini lebih menyesuaikan dengan
peristiwa-peristiwa sejarah pada bulan-bulan dimaksud, sebagai upaya membumikan
kalender Jawa Islam dalam konteks soaial masyarakat Jawa yang Islami. Sebagai
contoh, Syuro yang dijadikan ganti dari Muharrom karena terkandung maksud bahwa
pada tanggal 10 (asyrah), ada peristiwa tanggal 10 Syura yang
dirasionalisasikan sebagai peringatan meninggalna cucu Nabi, Hasan bin Ali bin
Abi Thalib. Begitu juga dengan Maulud misalnya, sebagai upaya memperingati 12
Robiul awaal di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Pembuatan Kalender Jawa
Islam itu sekaligus juga untuk merangkul seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di
bawah kekuasaan Mataram.
Upaya yang dilakukan tidak saja berdampak pada
eksistensi politik Sultan Agung di kerajaan Mataram, namun juga sebagai
momentum penyatuan sistem penanggalan di penjuru kerajaan Mataram. Titah raja
menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh rakyatnyha.
Dalam perspektif studi Islam, apa yang dilakukan
Sultan Agung merevisi penanggalan Jawa dengan penanggalan hijriyah yang
didesain akulturatif, merupakan strategi jitu dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Raja sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara mempunyai
pengaruh yang kuat dalam proses Islamisasi dan Pribumisasi Islam sebagai
kekuatan politik besar di Indonesia.
Untuk melihat praktek konversi penanggalan Islam ala
Sultan Agung, ada teori politik Islami yang ditawarkan oleh Bahtiar Effendi.
Pendekatan ini akan mencoba mendasarkan pada salah satu teori yang dikembangkan
oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960, yakni dekonfessionalisasi, di
mana Islam tidak harus menjadi aturan Islam yang normatif konfensional, tetapi
nilai-nilai keislaman seperti nama tahun dan bulan jhijriyah dimasukkan pada
kelompoknya (Effendy:2000).
Teori dekonfessionaliasasi ini lebih kepada pola
memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan demi
kemaslahatan bersama. Konsep ini menawarkan penjelasan konstruktif mengenai politik
antagonis antara Islam dan Negara. Sultan Agung melakukan konversi bukan karena
islamisasi Jawa semata, tetapi merupakan kemenangan politik Islam yang didukung
oleh rakyat. Kekuatan politik Islam inilah yang pada saat itu dijadikan Sultan
agung sebagai upaya menyusun kekuatan menentang politik Hindia Belanda.
D. Unifikasi perlu Keputusan Politik
Keputusan
Sultan Agung dalam memuluskan sistem penanggalan Jawa Islam di Indonesia ini,
bisa dijadikan sebgai tonggak dalam merumuskan unifikasi penanggalan hijriyah pada masa sekarang ini.Ummat
sudah lama menunggu terbitnya penanggalan hijriyah yang permanen. Tidak saja
bagi kepentingan ibdah tetapi juga untuk kepentingan sipil sebagaimana waktu
Sultan Agung berkuasa.
Dalam buku terbarunya Astronomi Memberi Solusi
Penyatuan Umat, Professor Astonomi dan Astrofisikan LAPAN, Prof. Dr. Thmas
Jamaluddin menyatakan, unifikasi kalender hijriyah bukanlah sesuatu yang sulit,
konsepnya mudah asalkan ada kebersamaan dan kesepakatan. Selagi syarat itu
belum dipenuhi bisa jadi unifikasi kalender hijriyah menjadi sesuatu yang
impossible (Thomas: 2012).
Unifikasi kalender hijriyah dibutuhkan tiga syarat:
(1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, (2) ada kriteria yang
disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang jelas. Dengan mewujudkan 3 hal
tersebut unifikasi kalender akan segera terbentuk dalam waktu yang singkat.
Untuk otoritas tunggal, mestinya umat Islam sudah
mensepakati Kepala Negara dalam hal ini yang berkompeten adalah Menteri Agama
sebagai pemegang otoritas tunggal. Kaidah fiqh menyatakan bahwa hukmul hakim
ilzamun wa yarfau khilaf, hukum penguasa bersifat tetap dan menyelesakan
berbagai sengketa. Meski dalam beberapa hal belum sepenuhnya dilaksanakan di
tingkat masyarakat.
حُكْمُ
الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ اْلإِجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Artinya: “Keputusan hakim dalam ijtihad dapat
menghilangkan persengketaan.” (As-Syuyuthi: Tt).
Aplikasi kaidah ini adalah apabila dalam suatu kasus penentuan
hukum, hakim menetapkan hukum atau keputusan yang dianggap lebih kuat, maka
pihak-pihak lain tidak boleh mengingkari keputusan hakim tersebut.
Syamsul Anwar dalam tulisan tentang unifikasi kalender
mensyaratkan bahwa kaidah ini berlaku manakala penguasa bersifat adil memberi
kepuasan kepada semua pihak. Sungguh sangat indah mestinya apabila putusan
hakim itu melegakan semua fihak. Tetapi itulah sifat putusan hakim yang
bersifat umum, memaksa dan memberikan sangsi (Anwar: 2012).
Kedua adalah adanya batas wilayah yang jelas. Konsep wilayatul hukmi (menganggap
NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana
hisab rukyat di Indonesia. Matla global tidak mungkin diterapkan karena secara
astronomis bertentangan dengan ilmu astronomi.
Dalam konteks nation state, konsep wilayatul
hukmi menjadi sangat penting mengingat konteks negara sekarang ini berbeda
dengan konsep negara Madinah pada zaman klasik. Realitas nation state
ini tidak saja berkaitan dengan politik kekinian, tetapi sejarah Islam
menyatakan hadits quraib sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam
merumuskan dan merealisasikan hadits quraib di Indonesia ini.
Dalam fiqh siyasah, ketaatan kepada pemimpin adalah
sebuah keniscayaan dalam kehidupan bernegara. Bahkan Sayyidina Ali sebagaimana
ditulis dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, enam puluh tahun bersama pemimpin yang
dholim lebih baik daripara semalam tanpa pemimpin (Mawardi:1960).
Dan ketiga, kesepakatan terhadap kriteria
bersama. kesepakatan ormas-ormas Islam dengan kriteria “2-3-8”, yaitu
ketinggian hilal minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat,
atau umur bulan 8 jam. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan lagi pada September
2011. Kesepakatan terakhir adalah Musyawarah Nasional Hisab Rukyat (Penentuan
Awal Bulan Qamariyah) Rabu 25 April 2012 di Kementerian Agama berhasil
merumuskan kesepakatan untuk mewujudkan kalender Islam tunggal dengan kriteria
bersama yang disepakati.
Kesepatakan terakhir diikuti hampir 50 peserta dari
seluruh organisasi sosial keagamaan di Indonesia serta beberapa pesantren yang
konsen dalam pengembangan ilmu falak. Secara umum berikut kutipan keputusan
yang dijadikan untuk menyatukan pendapat para ahli falak menuju terujudnya
unifikasi kalender di Indonesia.
- Ada kesadaran bahwa keseragaman takwim Islam Indonesia (untuk penentuan awal bulan Qamariyah selain awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah) adalah sebuah kebutuhan bersama yang perwujudannya membutuhkan proses untuk mendekatkan pandangan dan metode yang bisa disepakati bersama.
- Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
- Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
- Untuk menindaklanjuti kegiatan ini, Munas ini mengamanatkan langkah-langkah konkrit sebagai berikut:
- Merevitalisasi badan yang selama ini menangani hisab dan rukyat (BHR) agar lebih legitimated sehingga keputusannya mempunyai daya ikat kepada ormas yang diwakilinya.
- Melakukan tindak lanjut kajian secara intensif untuk melakukan upaya pendekatan di wilayah pandangan dan metode sehingga tercapai satu kriteria bersama dengan melibatkan pakar dan fuqoha.
- Melakukan penelitian observasi hilal secara kontinyu untuk kepentingan kriteria penetapan awal bulan qomariyah.
- Mengadakan musyawarah bersama secara intensif untuk menetapkan Takwim secara musyawarah mufakat.
- Selama kesatuan takwim itu belum tercapai, semua pihak hendaknya bisa menahan diri untuk menjaga kemaslahatan umat dengan mengedepankan toleransi.
- Kepada perwakilan-perwakilan ormas diminta dapat membawa pesan upaya penyatuan Takwim Islam Indonesia ini dalam forum pengambilan keputusan hukum tertinggi di masing-masing ormas.
- Perlu memperbanyak frekuensi dialog/silaturahmi antar pimpinan/tokoh ormas yang dapat difasilitasi Kementerian Agama.
- Perlu melakukan kaderisasi bersama antar ormas untuk mendalami kompetensi Astronomi.
- Membuat kalender Islam tunggal yang disepakati antar ormas Islam.
Prasyarat
inilah yang sesungguhnya memberikan PR bagi kita semua para peminat ilmu falak
untuk diujudkan dalam dunia nyata di negeri yang oleh syamsul Anwar sebagai
masa dimana Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif.
Penulis
meyakini tiga prasayarat tersebut bisa diwujudkan manakala para pemimpin di
Indonesia ini melakukan kajian ulang sekaligus merefleksikan ulang beberapa
pokok-pokok fikiran yang selama ini mendayut dalam benak fikiran umat Islam di
Indonesia, salah satunya adalah kontekstualisasi teks.
Catatan
Prof Thomas, bahwa ilmu pengetahuan bertugas untuk merasionalisasikan teks-teks
qauliyah, nampaknya sesuai dengan qaidah al-nushush mutanahiyah wal waqai
ghairu mutanahiyah, nash itu bersifat selesai sementara peristiwa itu tidak
akan selesai, patut direnungkan. Teks-teks tentang hilal (al-Baqoroh:189)
misalnya tidak ada batasan berapa besar hilal yang dirumuskan secara jelas. Seehingga
persoalan besaran hilal bersifat ijtihadiyah, yang bisa kapan saja dan di mana
saja dilakukan oleh para ulama. Persoalannya adalah ijtihad jamai yang digagas
oleh Yusuf Qardhawi, sekaran ini masih jauh dari panggang. Wallohu A’lam bis
Showab.
E.
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah Pilihan Kita? www.muhammadiyah.or.id/
Azhari, Susiknan, Revitalisasi Hisab Rukyat di Indonesia (Al-Jamiah, UIN
Yogyakarta, Vol 65/IV/2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru
van Hoeve. Jakarta. 2001.
Hambali, Slamet, Ilmu Falak I, Semarang, 1998.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Izzudin, Hisab Rukyat Menghadap Kiblat (Fiqh Aplikasi Praktis, Fatwa
dan Software) Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Izzudin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi
Permasalahannya, Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Jamaluddin, Thomas, Prof. Unifikasi
Kalender Islam Nasional, Regional, dan Global Mudah, Asal Mau Bersepakat,
(T.Djamaluddin.blogspot.com, Mei 2012).
Purwadi, Dr., M.Hum. Sistem Tata Negara Kerajaan Mataram dalam
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Vol. 4. No. 1. Maret 2007
Jurnal Konstitusi..
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 1998.