Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
(Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag RI
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Daarun Najaah Semarang)
Ada sebuah sabda yang menarik dari nabi Isa as, yang diriwayatkan Ali bin Musa al-Ridla (salah seorang Imam Kaum Syiah);
“Sungguh aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan
mereka dengan perkenan Allah. Juga aku sembuhkan orang buta dan orang
yang berpenyakit lepra dengan perkenan Allah; juga aku obati orang-orang
mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan perkenan Allah; kemudian
aku obati orang dungu, namun aku tidak mampu menyembuhkannya”.
Pada
suatu hari beliau pun ditanya : “Wahai ruh Allah, siapakah orang dungu
itu? Beliau menjawab: yaitu orang yang kagum pada pendapatnya sendiri,
yang memandang semua keunggulannya ada padanya dan tidak melihat cacat
ada padanya ; yang memastikan semua kebenaran untuk dirinya sendiri.
Itulah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya”.
Nabi Isa as. menyebut orang dungu itu sebagai “al-ahmaq”. Kedunguan
yang bukan sembarang kedunguan, tetapi kedunguan kuadrat atau jahil
murakkab (kebodohan berlipat).
Imam Ghazali berkata, ada empat jenis manusia. Pertama, orang yang tidak tahu dan tahu bahwa ia tidak tahu ( man la yadri wa yadri annahu la yadri ).
Inilah orang bodoh yang sederhana. Orang seperti ini mudah disembuhkan,
terutama lewat pendidikan. Kedua, orang yang tahu, tetapi ia tidak tahu
bahwa ia tahu (man yadri wa la yadri annahu yadri). Orang
seperti ini laiknya orang yang tertidur. Dia harus dibangunkan dari
tidurnya supaya sadar akan kemampuannya sehingga dapat memberi manfaat
kepada dirinya dan pada orang lain.
Ketiga, adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa ia tahu (man yadri wa yadri annahu yadri). Inilah golongan orang-orang arif (al-hukama).
Mereka inilah orang yang perlu diikuti ajaran maupun cara hidupnya dan
menjadi teladan umat manusia. Sementara yang keempat, adalah orang yang
tidak tahu dan tidah tahu bahwa ia tidak tahu (man la yadri wa la yadri annahu la yadri). Inilah golongan yang benar-benar orang-orang dungu.
Menurut
nabi Isa as tersebut di atas, seseorang sulit disembuhkan kebodohannya
selama ia belum menyadari ketidaktahuannya. Orang ini menderita jahil
yang disebut dengan jahil murakkab. Pangkal kebodohannya adalah
ketidaktahuan pada dirinya sendiri, ditambah dengan sifat ujub yakni
sifat merasa dirinya selalu benar, tidak pernah salah. Kebodohan semacam
ini bukanlah cirri orang yang beriman, karena orang yang beriman adalah
orang yang selalu berusaha untuk menyingkap tabir ketidaktahuan
dirinya. Karena iman yang benar menghasilkan sikap tahu diri yang benar.
Dan tahu diri adalah pangkal kearifan.
Oleh
karena itu, untuk menyongsong bulan Ramadhan tahun ini, kita tekankan
pengenalan diri kita dengan cara muhasabah – dengan cara intropeksi,
yakni seperti yang dikatakan dalam ungkapan sufi : “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (siapa mengenal dirinya sendiri maka ia mengenal Tuhannya). Nabi Muhammad saw sendiri juga pernah bersabda: “Man shoma Ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min danbihi”
(barang siapa menjalankan puasa penuh dengan keimanan dan melaksanakan
perhitungan diri – melaksanakan muhasabah, maka ia akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu).
Ihtisaban
– perhitungan terhadap diri sendiri adalah hal yang sangat dianjurkan
dalam ibadah puasa. Inilah momentum yang sangat baik bagi kita untuk
intropeksi terhadap hidup kita selama ini. Terhadap apa saja yang sudah
kita lakukan, terhadap apa saja yang belum kita lakukan,
kesalahan-kesalahan apa yang telah kita perbuat, sehingga intropeksi
ini juga menyangkut pertaubatan atas kesalahan atau dosa-dosa yang sudah
kita perbuat. Sehingga ihtisaban – perhitungan diri memang tidak lepas dari pertaubatan.
Manusia
melakukan dosa karena ia tidak tahan untuk menderita sementara. Padahal
ada kebahagiaan besar di kemudian hari jika ia sanggup menunda kepuasan
sementara. Dosa memang menjadi bagian kehidupan manusia karena manusia
memang lemah, seperti dikatakan hikmah dalam bahasa latin, Erare Humanum est
(manusia adalah pembuat kesalahan). Karena itu definisi dosa adalah
sesuatu yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, tetapi dalam jangka
panjang membawa kesengsaraan. Dosa disebut juga munkar yang artinya
sesuatu yang diingkari atau ditolak oleh hati nurani. Kita tahu hati
nurani adalah locus kesadaran manusia, kesuciannya, fitrahnya. Karena
itu ia disimbolkan dengan cahaya. Hati yang bersih menjadi sumber cahaya
kehidupan kita yang membawa kebaikan dan kebenaran. Namun karena
kelemahan manusia itu, manusia dapat terjatuh kedalam kegelapan – dulmani – dosa. Di sini hati nurani melakukan vis-à-vis dengan
hati yang gelap. Hati nurani menjadi sumber kebajikan manusia,
sedangkan hati yang gelap menjadi sumber dosa. Nabi Muhammad saw
bersabda : “Kebajikan adalah budi pekerti luhur, dan dosa adalah
sesuatu yang terbetik dalam dadamu dan kamu tidak suka orang lain
mengetahuinya”.
Oleh
karena itu, jika tahu diri adalah pangkal kearifan, ini berarti dari
waktu ke waktu manusia memang selalu memerlukan penyucian dirinya,
menyucikan hatinya, supaya hati itu menjadi nurani – bersifat cahaya
kembali. Di saat bulan Ramadhan inilah di samping bertujuan mencapai
ketakwaan, puasa Ramadhan juga dapat mempertajam kepekaan hati nurani
yang mengajak ke kebenaran dan kebaikan.
Marilah
kita benar-benar melakukan penghitungan diri – melakukan ihtisaban,
sehingga kita dapat mendapatkan rahmah – maghfirah dan berkah yang ada
dalam bulan Ramadhan tahun ini. Sehingga ritualitas kita selama bulan
Ramadhan ini tidak hanya sekedar “pemeranan” dalam sebuah permainan
teater – yang sudah tidak memainkan peran baik ketika tidak manggung
lagi. Namun nilai-nilai hasil penghitungan diri – ihtisaban -
selama Ramadhan ini dapat mencambuk untuk berbuat lebih baik, lebih
bermanfaat kepada yang lain, sehingga jauh dari perilaku zalim baik pada
diri sendiri, baik pada sesama, maupun dhalim pada lingkungan social
kita.
Dengan demikian kiranya hasanah fiddunya wal akhirah akan mudah diraih, yang mana dalam konteks kenegaraan konsep baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur
akan mudah tergapai. Mari kita songsong bulan Ramadhan 1434 H tahun ini
dengan muhasabah. Selamat menyambut bulan Ramadhan 1434 H.