Kasubdit Pembinaan
Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag RI Dosen Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang
Dalam
rangka mewujudkan kehidupan insan manusia di muka bumi Allah ini sebagai khalifah fi al-ard, agar mendapatkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, maka kiranya perlu
adanya prosesi perkawinan menurut hukum Islam.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yang didefinisikan sebagai sebuah akad yang
sangat kuat atau mtsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Pada dasarnya pernikahan merupakan sebuah
lembaga yang memberikan legimitasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan
berkumpul bersama dalam sebuah kebersamaan dalam satu ruang dan waktu (red;
komunitas terkecil -keluarga-) dalam rangka mendapatakn ketenangan dan
ketentraman hidup. Untuk mendapatkan ketenangan atau ketenteraman sebuah
keluarga, salah satunya ditentukan bahwa pernikahan itu harus sesuai dengan
dengan tuntutan syariat Islam (bagi orang beragama Islam).
Selain
itu, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat. Sebagaimana dalam pasal 5 ayat 2 Kompilasi Hukuk
Islan di Indonesia, bahwa pencatatan
tersibu dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang no. 22 tahun 1946 jo. Undang-undang no. 32 tahun 1954.
Sebagai pemahaman mukhalafahnya, jika perkawinan yang dilakukan diluar
pengawasan Pegawai Pencatat nikah (red; tidak dalam catatan), maka tidak
mempunyai kekuatan hukum ( KHI ; pasal 6 ayat 2).
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya
merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan
terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris
dan lain-lain. Bahkan sebenarnya tidak hanya perlindungan isteri dan anak saja,
namun perlindungan bersama anggota keluarga yakni suami, isteri dan anak secara
bersama-sama.
Posisi Nikah Sirri
Dalam
perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan
yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan huku,m yang berlaku. Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat
(1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut
hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan posisi
nikah sirri adalah pernikahan illegal dan tidak sah.
Merujuk
pemberlakukan hukum Islam di Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus
dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah
menurut hukum positif di Indonesia, yakni : pertama, perkawinan harus
dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus
dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sesuai dengan UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Oleh karena itu, jika tidak
terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan
perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Akan tetapi kalau
ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka
perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak
dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu
perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan
bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Olehb
karena itu, arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas
dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
Status Pencatatan Nikah
Untuk kemaslahatan umat Islam, urgensi pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai
dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian
luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi dan sangat penting. Di atas
perjanjian-perjanjian muamalah lainnya, bahkan merupakan perjanjian muamalah
yang bersifat hifd nafs lahir bathin, tidak sekedar hifd mal wa
ghairi dalik. Dalam arti, Islam
memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam
Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan). Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang tidak
perlu adanya pencatatan secara tertib dan serius? Perlu kita yakinkan kepada
umat Islam bahwa pencatatan perkawinan sangat mungkin menjadi wajib syar’i.
Adalah sangat salah logika dasar, jika perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa,
misalnya semacam utang piutang di lembaga keuangan atau perbankan atau jual
beli tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa akad perkawinan yang merupakan
perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh
pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, dalam nalar logika sadar, sangat
penting sekali adanya pencatatan nikah dalam sebuah perkawinan yang berharap
mendapatkan hasanah dunia dan akhirat ini, amin.
Semoga bermanfaat, Wallâhu
a'lam bi al-shawâb.