(Semarang,
Syari’ahwalisongo.ac.id) - Persoalan status anak bukan
hasil dari pernikahan yang sah secara agama dan negara di Indonesia, masih menyisakan
perdebatan panjang. Perbedaan pendapat ini terjadi di semua level di masyarakat
terutama di kalangan cendekiawan Islam.
Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang sebagai Fakultas Hukum Islam tak ketinggalan turut mengkaji hak
keperdataan anak diluar nikah tersebut. Dr. Imam Yahya, selaku Dekan Fakultas
Syari’ah, mengatakan bahwa diskusi mengenai status anak diluar nikah dianggap
penting.
Mengingat banyak
pihak bertumpu pada sikap yang diambil oleh pakar-pakar hukum Islam karena ini
merupakan urusan hubungan keperdataan yang erat kaitanya dengan hukum Islam. “Fakultas
Syari’ah sebagai fakultas yang konsentrasi dalam hukum Islam perlu untuk
mengkaji lebih dalam lagi terkait dengan status anak diluar nikah. Karena
masyarakat biasanya bertumpu pada pakar hukum Islam di IAIN Walisongo,” jelas
Dr. imam Yahya.
Menindaklanjuti
terkait dengan status anak diluar nikah kemudian Fakultas Syari’ah
mengamanatkan kepada Jurusan Muamah (Hukum Ekonomi Islam) untuk menggelar
diskusi terbuka. Seminar yang bertajuk “Status Anak Luar Nikah dan Hak
Keperdataannya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010″.
Diskusi
berlangsung, di auditorium kampus 1 lantai 2 IAIN Walisongo Semarang, Selasa
(10/4). Seminar ini dipenuhi peserta
diskusi sekitar 500 peserta memadati auditorium lantai 2. Padahal target awal dari panitia hanya menargetkan peserta antara
150 sampai 250 pserta. Dari
itu hampir setangahnya peserta seminar rela berdiri di bagian belakang.
“Pada awalnya panitia
hanya menyediakan tempat untuk peserta sekitar 250 namun ternyata peserta
membludak hingga sekitar 500 peserta. Terpaksa kemudian peserta yang tidak
kebagian tempat duduk kemudian berdiri di bagian belakang ruangan diskusi,”
papar Moh. Arifin, M.Hum sebagai ketua panitia penyelenggara seminar tersebut.
Namun kondisi
demikian tak menyulutkan semangat peserta untuk mengikuti diskusi. Hadir ketiga
narasumber dalam acara tersebut yaitu ketua MUI Jawa Tengah Drs. Ahmad Daroji,
MA, Chotib Rasyid, Ketua Pengadilan
Tinggi Agama (PTA) Semarang, dan juga Setyawati dari Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI).
Dari ketiga
narasumber tersebut nampaknya dalam menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/UU-VIII/2010 tidak seragam. Ada yang menyampaikan kelebihan dan ada juga
yang memaparkan kelemahan.
Ketua PTA
Semarang misalkan memaparkan akan bukti yang bisa dijadikan rujukan untuk
mengetes apakah memang betul anak itu adalah anak sah dari bapaknya. Dimana
bukti tersebut sekarang harus ditambah dengan tes DNA. Dimana pada waktu dulu
cukup dengan menggunakan foto. “Status anak diluar nikah bisa dibuktikan dengan
tes DNA” jelas ketua PTA Semarang.
Selain itu ia
juga mengklasifikasikan siapa anak diluar nikah. Dimana yang menjadi ketakutan
dari sebagian orang adalah pelegalan praktek perjinahan. Chotib Rasyid, MA
kemudian kemudian menjelaskan tiga kategori anak. Pertama, anak yang memang
lahir dari perkawinan yang sah secara agama dan negara.
Kedua, anak yang
lahir dari perkawinan yang sah secara agama, namun tidak dicatatkan di catatan
sipil atau di Kantor Urusan Agama (KUA). Kategori kedua ini yang kebanyakan
orang dengan menyebut dengan nikah syiri’. Lalu yang ketiga adalah anak yang
merupakan hasil dari kumpul kebo, atau perzinahan.
“Yang dimaksud
anak diluar nikah dalam putusan MK adalah anak yang hasil dari nikah kategori
yang kedua. Dimana nikahnya sah secara agama naum tidak dicatatkan di catatan
sipil dan KUA,” demikian tambahan dari ketua PTA Semarang.
Sementara
kekhawatiran mengenai anak diluar nikah adalah termasuk juga anak hasil kumpul
kebo diungkapkan oleh ketua MUI. Dengan adanya putusan MK ini nantinya sarat
dengan penyelewengan.
“Putusan MK yang
menyatakan anak luar nikah memiliki hak sama seperti anak dari nikah yang sah,
juga harus melihat efeknya, karena bisa disalahgunakan untuk legalitas
perzinaan. Untuk aplikasinya dalam kehidupan masyarakat putusan MK ini harus
dikaji ulang,” ujar Drs. Ahmad Darodji, MA.