Seorang gadis yang lahir di luar nikah/akibat perzinahan menghadapi problem ketika akan melakukan pernikahan; siapa yang akan menjadi wali nikahnya ?. Bagaimana sebenarnya hukum mensikapi fenomena tersebut yang seringkali muncul dalam masyarakat kita ?
Islam memandang sama terhadap anak yang dilahirkan tanpa kecuali, semuanya dalam keadaan fitrah (suci), baik mereka yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, maupun yang lahir tanpa didahului perkawinan yang sah. Anak tetap suci dan tidak menanggung dosa dari dosa orang tuanya, hanya saja dalam masyarakat, hal itu tetap menjadi bahan pembicaraan orang.
Pernikahan seorang wanita yang yang lahir di luar nikah tetap dapat dilakukan, dengan catatan bahwa calon suaminya mau menerima keadaan. Perlu ada keterbukaan untuk menceritakan apa yang terjadi di keluarga kepada calon suami, agar tidak menjadi beban perkawinan karena ada yang disembunyikan. Keterbukaan itu akan menjadi awal komunikasi yang baik antar suami isteri kelak. Di samping itu, berlangsung tidaknya perkawinan tergantung kedua calon mempelai, mengingat bahwa perkawinan tidak dapat dilaksanakan apabila salah satu dari kedua calon suami-istri tidak ridha/dipaksa. Persetujuan kedua calon mempelai sangat dibutuhkan (Pasal 6 ayat (1) UU No. 1/1974). Oleh karena itu perlu dibicarakan baik-baik dengan calon pasangan, agar di kemudian hari tidak terjadi problem.
Langkah selanjutnya, untuk melangsungkan akad nikah dibutuhkan seorang wali yang merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Wali itu harus laki-laki, muslim, berakal dan baligh (dewasa).
Walaupun demikian tidak semua orang yang memiliki kreteria tersebut dapat bertindak sebagai wali. Ketentuan tentang siapa yang berhak menjadi wali diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KHI yaitu:
“Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan anak laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan anak laki-laki mereka”.
Dari komposisi wali di atas, tidak ada satupun wali yang dapat menikahkan wanita hasil zina. Ayah biologisnya tidak mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali. Demikian juga dengan kakek, saudara, paman yang secara hukum tidak mempunyai kapasitas sebagai wali nikah. Karena keberadaan wali hanya ditentukan oleh adanya pernikahan yang sah. Laki-laki yang melakukan perzinahan tidak pernah menjadi wali nikah anak wanita hasil zina. Kalau laki-laki tersebut tidak dapat menjadi wali, maka rangkaian orang-orang dari laki-laki tersebut juga tidak dapat menjadi wali.
Adapun kakek yang berasal dari jalur ibu tidak memiliki kriteria sebagai wali nikah. Begitu pula wali-wali yang lain dari jalur ibu. Ketentuan itu sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal. 43 ayat (1) UU No.1/1974.
Meski demikian, pernikahan tersebut tetap dapat dilangsungkan yaitu dengan mengunakan wali hakim. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab (seperti di atas) tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau enggan menjadi wali nikah.